Mulai musim durian rupanya. Mulai banyak orang menjual
durian di pinggir-pinggir jalan. Bagi Cak Manap, ini bisa menjadi
semacam siksaan kecil. Kenapa? Karena Cak Manap punya sedikit
”pengalaman pahit” dengan durian.
Ada dua jenis buah yang Cak Manap tidak suka. Pertama buah
Zaqqum—buah yang menjadi makanan penghuni neraka, kedua buah durian.
Buah Zaqqum tentu saja ia benci karena mengandung murka Tuhan. Sedangkan
buah durian, Cak Manap kurang menyukainya karena termasuk buah
mubaddzir, hanya bisa diemut, sedangkan harganya cukup mahal.
”Durian itu buah asosial, kurang peka terhadap sekitar.
Yang bisa memakannya hanya orang-orang tertentu, tapi baunya
kemana-mana.” Lagi pula Cak Manap sering kali menjadi korban ”prinsip
ekonomi” para penjual durian. Cak Manap kurang berbakat menjadi
penggemar durian. Tiga ratus sembilan kali membeli buah tersebut, hampir
seluruhnya ia tertipu. Ada tiga kemungkinan setiap kali Cak Manap
membeli durian: mentah, busuk atau masak tapi tak manis.
Jika rakyat jelata seperti Cak Manap ingin bisa menikmati
durian, kiranya bukan sebuah kesalahan. Sebab pohon-pohon durian itu
tumbuh di Indonesia, sedangkan Cak Manap juga termasuk rakyat Indonesia.
Kantong tipisnya pun, bukan kesalahan karena tak ada perda yang
melarang orang melarat untuk makan durian.
Cak Manap melarat tapi ingin makan durian, menurut kode
etik perdagangan tidak harus ditipu dengan durian mentah yang kambing
pun tak sudi memakannya. Bolehlah para pedagang menjual durian murah
seukuran rambutan, tapi harusnya yang layak konsumsi. Sebab Cak Manap
mau membeli durian, bukan kulit dan bijinya.
Prinsip ekonomi memang keji. Dan sayangnya,
pedagang-pedagang di kota Cak Manap begitu patuh terhadap prinsip
tersebut. ”Kulakan durian sementah-mentahnya, dijual dengan harga
setinggi-tingginya”.
Kegiatan produksi yang dalam ilmu ekonomi berarti menambah
manfaat serta nilai barang atau jasa, lain praktiknya. Agar kualitas
durian meningkat, tak perlu mengadakan rekayasa genetika pohon durian,
misalnya okulasi pohon durian dengan batang tebu atau menyuntik pohon
dengan gula.
Ada banyak cara ”cerdas” untuk meningkatkan mutu durian.
Kalau dulu orang niteni durian masak dari tangkai yang putus dengan
sendirinya dari pohon karena sudah tua atau dari baunya yang semerbak,
sekarang itu tak menjamin. Tangkai durian bisa dipelintir ketika masih
berada di pohon dan bau wangi bisa karena kulit durian sudah disemprot
jus daging durian.
Prinsip ekonomi di era kita, jauh berbeda dengan ajaran
Nabi. Ilmu ekonomi modern telah mendidik kita menjadi begitu pragmatis.
Swalayan menaikkan harga 1000% terlebih dulu sebelum menerakan diskon
70% pada barang dagangannya.
Pedagang kaki lima, bos IRT bahkan perusahaan besar
produsen makanan menambahkan bahan-bahan mengerikan dalam produk mereka :
pewarna cat tembok atau tekstil, pengawet mayat, bahan bakar roket
bahkan zat kimia peluruh ginjal.
Karena prinsip ekonomi itu pula, tiap hari kita harus
mengkonsumsi racun yang dinosaurus pun bisa menemui Izrail ”karenanya”.
Beras dicampur pemutih, ikan asin dimumi dengan formalin, apel dilapisi
lilin, disuntik pemanis sekaligus disemprot cat demi mendongkrak harga
jual. Minyak goreng, sudah bekas pakai masih dicampur oli mesin pula.
Bangkai ayam yang hanya layak dimakan belatung, malah dijual untuk
dikonsumsi manusia. Bahkan demi keuntungan besar, perusahaan operator
selular rela menjadi comblang dan panitia sekian ribu tindakan cabul.
Me-launching program-program bonus nggedabrusdan SMS.
Demi mendongkrak penjualan, para produsen makanan, minuman
dan obat mengatakan produk berbahaya mereka penuh vitamin dan gizi dalam
iklan. Demi rating dan “agenda besar” para pemilik stasiun televisi
rela memberangus identitas manusia waras. Demi kesejahteraan anak,
istri, cucu, cicit, keponakan, Bu De, Bu Lik, Mbah Kakung, Mbah Putri,
Buyut dan keturunan kedelapan, para pejabat memperdagangkan BUMN dan
masa depan bangsa.
Di negeri Ciprut, durian dan buah Zaqqum seakan tak ada bedanya.
By : Rosydi
Rubrik : Ekonomi